Minggu, 19 Desember 2010

U.S.A vs IRAQ

Reaksi Presiden Amerika Serikat, George Walker Bush, terhadap serangan telak teroris langsung ke jantung ekonomi AS (Gedung World Trade Center) dan jantung pertahanan AS (Gedung Pentagon), menimbulkan efek domino yang mengubah peta politik dunia kontemporer. Para analis politik mengajukan sejumlah argumentasi yang mencoba menggambarkan pergeseran-pergeseran dalam dinamika hubungan internasional negara-negara di dunia. Para pemimpin dunia sibuk melakukan negosiasi-negosiasi politik tingkat dunia untuk menjaga stabilitas negaranya sambil tetap menjaga keseimbangan kepentingan-kepentingan politik luar negeri. Tidak hanya itu, para pemimpin agama dan para teolog pun merespons situasi dunia dengan mencoba membangun refleksi-refleksi teologis untuk memberi makna pada perubahan global yang terjadi, agar dengannya umat beragama di seluruh dunia tidak terpecah-belah dalam arena konfrontasi politik dunia.
Upaya mencermati situasi dan dinamika politik dunia pasca-9/11 dengan segenap dampaknya, memang membutuhkan tingkat kejelian yang tinggi. Kendati secara umum dilihat sebagai suatu peristiwa politis, namun peristiwa 9/11 sarat dengan muatan konflik ideologis, yang dalam hal ini juga menyeret masalah agama ke dalam arena politik. Itulah yang membuat kajian terhadap situasi politik dunia kontemporer pasca-9/11 menjadi suatu upaya ilmiah yang kompleks, sulit dipilah-pilah secara konseptual sehingga dilihat sebagai produk akademis yang “bebas-nilai”. Akan tetapi, sebagian besar analisis dan peneliti pada akhirnya menyadari bahwa pemilahan konseptual yang “bebas-nilai” juga tidak realistis meskipun tetap diperlukan dan dikategorisasikan secara seimbang.
Buku ini dapat dilihat sebagai salah satu upaya membedah realitas kompleks politik luar negeri AS pasca-9/11 serta dampaknya bagi hubungan internasional. Dalam kapasitasnya sebagai seorang pendeta, alih-alih memisahkan masalah 9/11 dari agama, Richard Daulay malah mencoba menelusuri sampai sejauh mana pertimbangan-pertimbangan teologis memengaruhi produk kebijakan Presiden George W. Bush. Dua ideologi utama yang dicermati dalam buku ini adalah “neokonservatisme” dan “fundamentalisme Kristen”. Kedua ideologi inilah yang menjadi pusat perhatian Daulay, dengan mencoba melihat korelasi kedua kekuatan ini dalam berbagai kebijakan luar negeri AS.
Kajian hubungan antara neokonservatisme dan fundamentalisme Kristen memang dilihat aneh. Demikian pandangan Rizal Mallarangeng dalam kata pengantar buku ini. Kaum neokonservatif awalnya dimotori oleh kaum intelektual New York, Yahudi sekuler, migran dari ajaran Stalin dan kaum kiri lainnya (misalnya: Irving Kristol). Di pihak lain, kaum fundamentalis Kristen yang pasti tidak akan nyaman secara personal berkawan dengan tokoh-tokoh intelektual sekuler seperti Irving Kristol. Namun, Mallarangeng pun menyadari bahwa dalam politik banyak hal dapat terjadi karena pertautan kepentingan. Dengan pendasaran pada pandangan Unger, Daulay rupanya juga menerima bahwa “kepentingan” di sini bukan hanya kepentingan politik tetapi juga kepentingan teologis. Menurut Unger, fundamentalisme Kristen dengan teologi premilenialismenya dan neokonservatisme dengan ideology demokrasi imperialismenya sama-sama bertemu dalam kepentingan Israel. Keduanya menghadapi common enemy, yakni Irak; dan common mission, yakni Israel (hlm. 64).
Berdasarkan hasil kajiannya, Daulay sendiri mengakui bahwa Bush sedang mempraktikkan agamanisasi politik, yakni menempatkan politik dalam domain agama. Praktik ini mengacu pada pandangan politik Bush yang dikenal sebagai “Doktrin Bush”, dalam pidato kenegaraannya di hadapan Kongres pada 20 September 2001. Ditinjau dari segi retorika dan kebijakan-kebijakannya pasca 9/11, Bush memang sangat intensif menggunakan ungkapan-ungkapan yang sarat dengan ide-ide teokrasi dan fundamentalisme Kristen di Amerika. Menurut Daulay, dalam batas tertentu, Bush sedang melakukan politik luar negeri yang dijiwai oleh prinsip-prinsip teokrasi, bahwa perang melawan terror itu adalah perintah Tuhan, dan bahwa Bush ditempatkan Tuhan di Gedung Putih untuk memimpin perang melawan terror demi menghancurkan kerajaan setan: Irak, Iran, dan Korea Utara.
Meskipun buku ini merupakan hasil kajian Hubungan Internasional dengan focus pada politik luar negeri AS pasca 9/11, tetapi Daulay melihat ada relevansi yang signifikan dengan perkembangan kehidupan agama-agama di dunia, khususnya di Indonesia. Menurut Daulay, tugas agama-agama adalah melakukan politik agama, bukan politisasi agama (hlm. 131). Politik agama adalah politik kenabian bukan politik partisan. Politik agama adalah politik moral yang tugasnya adalah menjaga moral dalam masyarakat. Politik kenabian atau gerakan moral agama adalah perjuangan untuk menegakkan keadilan dalam masyarakat. Tetapi kecenderungan yang terjadi sekarang di Indonesia adalah politisasi agama (hlm. 133). Politisasi agama sangat berpotensi menciptakan polarisasi dan perpecahan serta disintegrasi.
Buku ini patut dibaca oleh setiap orang yang gelisah dengan fenomena politik nasional dan internasional saat ini. Tidak hanya itu, buku ini juga mengajak setiap umat beragama untuk tidak bersikap apatis terhadap politik, tetapi terlibat aktif dalam kehidupan politik dengan pendasaran-pendasaran keyakinan (iman dan ideologi) yang positif dan konstruktif. Tujuan utama dari semua itu sudah jelas: terciptanya suatu tatanan masyarakat dunia yang damai dan sejahtera dalam semangat keadilan bagi setiap manusia. Pada titik “keadilan” itulah agama berkepentingan menjalankan tugas politik kenabiannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar